Pada jaman dahulu di era kejayaan kerajaan singosari dibawah pimpinan Akuwu Tunggul Ametung, terdapat seorang pemuda perawat kuda yang bernama Ken Arok. Singkat cerita melihat segala keistimewaan dan kenikmatan yang diperoleh oleh Akuwu Tunggul Ametung sebagai penguasa kerajaan, maka muncullah niat buruk Ken Arok untuk melengserkan Sang Penguasa dan mengambil alih kekuasaannya. Suatu hari Ken Arok memesan sebilah keris sakti kepada Empu yang sangat populer dan ahli pada saat itu yaitu Empu Gandring. Sebagai seorang Empu yang sangat ahli, maka sangatlah penting baginya untuk melayani pelanggan dengan baik dan menjamin kualitas kerisnya. Hal tersebut dianggap perlu untuk menjaga kepercayaan pelanggannya. Meskipun Empu Gandring adalah seorang maestro dalam bidangnya, namun bukanlah hal yang mudah baginya untuk menjaga kualitas kerisnya.
Guna menjaga kualitas dan kesaktian kerisnya maka Empu Gandring harus melakukan beberapa tirakat, puasa, semedi dan perlakuan-perlakuan lainnya. Ken Arok sebagai pelanggan diminta untuk bersabar menunggu sampai keris itu benar-benar sempurna. Namun demikian, melihat segala kemewahan, keistimewaan serta istri cantik (Ken Dedes) yang dimiliki Akuwu Tunggul Ametung maka Ken Arok menjadi semakin tidak sabar menunggu untuk segera mengambil alih seluruh kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung. Sesaat itu juga Ken Arok menemui Empu Gandring untuk mengambil keris sakti pesanannya.
Empu Gandring yang kecewa dengan ketidak sabaran Ken Arok menjelaskan dengan tenang perihal keris yang belum sempurna itu, namun Ken Arok memaksa untuk membawa keris tersebut. Empu Gandring menolak dengan tegas karena hal tersebut akan menimbulkan terjadinya hal buruk dikemudian hari. Ken Arok yang tidak terima karena kerisnya belum jadi tidak menghiraukan peringatan Empu gandring tersebut dan melampiaskan kemarahannya dengan merebut keris pesanannya serta menusukkan pada tubuh sang Empu. Empu Gandring pun jatuh terkapar bersimpah darah, dan ketika sekarat sang empu pun melontarkan sebuah kutukan. Empu Gandring mengutuk Ken Arok, bahwa keris itu jugalah yang akan membunuhnya bahkan sampai 7 keturunan setelahnya. Akhirnya sang Empu pun tewas di tangan Ken Arok.
Jauh sebelum kejadian tersebut Ken Arok sudah merencanakan kudeta terhadap kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, sehingga setelah mendapatkan keris sakti tersebut Ken Arok tinggal merealisasikan rencana itu. Sesaat setelah Ken Arok membunuh Empu Gandring, Ken Arok pun bermaksud untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dengan membunuh Akuwu Tunggul Ametung maka Ken Arok akan mengambil alih seluruh kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung termasuk istri cantik dari Akuwu Tunggul Ametung yaitu Ken Dedes.
Namun demikian Ken Arok pun telah merencanakan penghilangan jejak perbuatan buruknya dengan cara mengadu domba. Sebelum membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok memamerkan keris saktinya tersebut kepada Kebo Ijo yang saat itu menjabat sebagai salah satu Senopati di Kerajaan Singosari tersebut. Mengetahui bahwa Kebo Ijo memiliki sifat yang arogan dan suka pamer, maka Ken Arok bermaksud memanfaatkan hal tersebut untuk mengadu domba dan menghilangkan jejak perbuatan buruknya sehingga memberinya waktu untuk mengambil alih kekuasaan Tunggul Ametung.
Ketika Ken Arok memamerkan keris sakti tersebut kepada Kebo ijo, Kebo Ijo pun sangat tertarik dan kagum dengan keistimewaan serta kesaktian keris itu. Ken Arok bermaksud untuk menitipkan keris tersebut kepada Kebo Ijo, dan Kebo ijo pun akhirnya dengan senang hati bersedia dititipi karena dia sangat ingin memamerkan keris tersebut kepada seluruh orang-orang yang dekat dengannya. Sesaat setelah Ken Arok pergi meninggalkan Kebo ijo, Kebo Ijo pun melancarkan aksi pamer dan arogansinya tersebut. Kebo Ijo tidak menyangka bahwa setelah dia memamerkan keris tersebut, Ken Arok mencuri keris tersebut untuk digunakan membunuh Tunggul Ametung. Saat Kebo Ijo terlelap Ken Arok pun melancarkan aksinya tersebut.
Ken Arok menyelinap masuk kedalam ruang tidur Tunggul Ametung dan akhirnya berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan meninggalkan jejak keris sakti buatan Empu Gandring tersebut. Ken Arok pun lari dan bersembunyi menghilangkan jejaknya, dan secara otomatis tuduhan pembunuhan Sang Penguasa tersebut mengarah kepada Kebo Ijo. Seluruh pasukan Singosari dikerahkan untuk mengejar dan menangkap Kebo Ijo. Mendengar kejadian tersebut, akhirnya Kebo Ijo Wirudo (nyingkrih/kabur) dan meminta ala bantuan dari tiga temannya yaitu Singo Joyo, Singo Kerto dan Singo Rekso.
Pasukan pengejar Kebo Ijo mendapat informasi bahwa pada malam itu Kebo Ijo berlari kearah timur menuju sebuah bukit (gunung kecil). Karena ketika pasukan sampai di gunung tersebut keadaannya gelap gulita, maka gunung tersebut sampai saat ini dinamakan sebagai “Gunung Gelap” yang berada di daerah Kecamatan Singosari. Di gunung tersebut pasukan tidak menemukan Kebo Ijo dan mendapat informasi bahwa Kebo Ijo berlari lagi ke arah timur. Sesaat setelah pasukan mengejar kea rah timur dan menemukan sebuah gunung lagi, pasukan pun berhenti dan mencari Kebo Ijo disekitar gunung tersebut. Namun ketika pencarian itu berlangsung, pasukan tersebut mencium bau yang tidak sedap seperti bau mayit (mayat). Oleh karena itulah sampai saat ini gunung tersebut dinamakan sebagai “Gunung Gondo Mayit/Gondo Mayi” yang berada di daerah Kecamatan Singosari.
Setelah pencarian yang amat melelahkan di gunung gondo mayi tersebut, pasukan pun masih belum bisa menemukan keberadaan Kebo Ijo. Pasukan pun mendapatkan informasi bahwa Kebo Ijo berlari ke arah selatan, sehingga pasukan melanjutkan pengejaran kea rah Kebo Ijo berlari. Di tengah perjalanan menuju selatan, tiba-tiba pasukan dihadang oleh pohon tumbang yang melintang (ngedawang/menghadang) ditengah jalan. Singkat cerita daerah tersebut sampai saat ini dinamakan sebagai “Kedawung” yang merupakan salah satu Dusun di Desa Ngijo. Pasukan pengejar Kebo Ijo akhirnya berbelok ke arah timur dan menemukan sebuah pohon atau kayu Tritih besar dan disana  pasukan tersebut merasakan suasana yang mencekam/merinding (agreng). Akhirnya sampai saat ini wilayah tersebut dinamakan sebagai “Kagrengan” yang juga salah satu Dusun di Desa Ngijo.
Tidak mau kehilangan jejak Kebo Ijo, akhirnya pasukan pun melanjutkan pencariannya menuju arah barat (Kedawung) dan pencarian tersebut akhirnya membuahkan hasil. Pasukan menemukan Kebo Ijo dan berusaha menangkap Kebo Ijo hidup atau mati. Namun demikian Kebo Ijo adalah salah satu orang sakti yang ada di Kerajaan tersebut, oleh karena itulah dia menjabat sebagai senopati kerajaan. Pasukan pun kuwalahan dan akhirnya dikalahkan oleh kesaktian Kebo Ijo. Dengan kecewa pasukan pun ditarik mundur menuju pusat kerajaan untuk menyusun strategi berikutnya.
Setelah pertempuran tersebut Kebo Ijo bersembunyi dan beristirahat di sebuah daerah yang terhampar luas rerumputan hijau atau disebut dengan “Glagah Ijo” yang saat ini terletak di tengah area persawahan di Desa Ngijo dekat perbatasan dengan Desa Ampeldento. Glagah Ijo merupakan area yang unik yang berupa tanah rawa (embag) yang ditumbuhi rerumputan hijau yang amat luas. Pada saat panas yang menyengat area tersebut tidak terasa panas dan pada saat dingin yang menusuk area tersebut tidak terasa dingin. Oleh karena itulah area tersebut sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Apabila musim kemarau tanah di area tersebut bertekstur kering, namun apabila di injak maka tanah tersebut akan bergelombang (tidak stabil). Area tersebut merupakan cikal bakal adanya punden di Desa Ngijo, serta di area itu pula beberapa tahun yang lalu ditemukan situs bersejarah yang berbentuk seperti candi yang akhirnya diberikan kepada pemerintah.
Keesokan harinya, mendengar bahwa pasukan Singosari telah menyusun strategi untuk melakukan serangan balik, maka Kebo Ijo beserta tiga temannya menuju ke arah barat dan beristirahat sejenak (istilah jawanya ngepeh). Oleh karena itulah daerah tempat istirahat Kebo Ijo tersebut sampai saat ini disebut sebagai “Ngepeh” salah satu Dusun di Desa Ngijo. Mengetahui keberadaan Kebo Ijo, pasukan Singosari pun segera melaksanakan penyergapan. Kebo Ijo bersembunyi dengan nempel (ndesel) pada pohon kedondong yang berada di area tersebut. Area tersebut dinamakan sebagai “Desa Ndesel” yang tepatnya berada di sumber air (belik) Takeran di tengah-tengah antara Dusun Ngepeh dan Dusun Takeran. Namun saat ini istilah Desa Ndesel ini tidak digunakan lagi dan yang digunakan adalah Dusun Ngepeh dan Dusun Takeran.
Tepat di sumber air tersebut seluruh pasukan bertarung mati-matian (taker pati) melawan Kebo Ijo beserta tiga teman saktinya. Banyak pasukan yang akhirnya tewas karena kesaktian Kebo Ijo dan teman-temannya. Sampai saat ini area tersebut dinamakan sebagai salah satu Dusun di Desa Ngijo yaitu “Takeran”. Pasukan pun ditarik mundur dan Kebo Ijo melanjutkan perjalanannya kea rah barat. Setelah berjalan beberapa jauh, Kebo Ijo menemukan sebuah pohon (kayu) Kendal dan menjadikannya sebagai tempat tidur (sari). Singkat cerita tempat tersebut sampai saat ini dinamakan sebagai Dusun “Kendalsari”.
Beberapa saat setelah Kebo Ijo tidur, bala pasukan Singosari pun datang kembali untuk menyergap. Kebo Ijo pun berlari ke arah utara menyebrangi sebuah sungai. Karena kelelahan berlari maka Kebo Ijo pun menarik nafas panjang (Ngeses). Sehingga singkat cerita wilayah tersebut dinamakan sebagai “Leses”. Kebo Ijo tidak terlalu lama berada di wilayah tersebut dan segera melanjutkan perjalananya menuju ke barat. Setelah beberapa saat, Kebo Ijo menemukan sebuah tempat yang terdapat banyak sekali pohon buah blimbing yang sedang berbunga. Dikarenakan wilayah tersebut berbentuk bukit (Giri) dan dalam bahasa jawa bunga dari buah blimbing adalah maya (moyo), maka wilayah tersebut sampai saat ini dinamakan sebagai “Girimoyo”.
Dari wilayah Girimoyo, Kebo Ijo melanjutkan perjalanan menuju barat lagi dan menemukan sebuah pohon besar bernama pohon Ploso di wilayah yang agak tandus (saat ini digunakan sebagai Pasar Karangploso). Oleh karena itulah wilayah tersebut dinamakan sebagai “Karangploso”. Kebo Ijo pun melanjutkan perjalanannya menuju arah timur dan menemukan sebuah rumpun bambu ampel (jenis bambu berukuran kecil) yang dibawahnya digunakan sebagai tempat memandikan sapi. Biasanya sapi yang dimandikan di area tersebut dipakaikan lonceng kecil (Gento) dilehernya. Oleh karena itulah wilayah tersebut sekarang dikenal dengan sebutan “Ampelgento/Ampeldento” tepatnya berada di sebelah selatan Desa Ngijo.
Menuju ke arah timur lagi, Kebo Ijo menjumpai seekor burung yang memakan tanah. Beberapa temannya bilang bahwa burung tersebut Ngasin (mencari/memakan sesuatu yang asin) untuk membantu pencernaannya. Dengan begitu wilayah tersebut sampai saat ini dikenal sebagai “Kasin”. Selanjutnya Kebo Ijo melanjutkan perjalanannya ke timur, namun mengambil jalur samping (Nyisih). Wilayah tempat Kebo Ijo Nyisih tersebut sampai saat ini dinamakan sebagai “Tlasih”. Di wilayah tlasih tersebut terdapat sungai besar yang dapat dijadikan sebagai perlindungan (Tameng) dan penghalang (Benteng aling-aling) dari bala pasukan Singosari. Sehingga sampai saat ini wilayah tersebut dikenal sebagai “Tameng”. Setelah mengetahui keadaan aman, maka Kebo Ijo menuju arah utara sedikit tepatnya kembali ke Glagah Ijo.
Beberapa saat berada di Glagah Ijo, pasukan Singosari kembali menyerang Kebo Ijo dan teman-temannya. Kebo Ijo yang telah merencanakan strategi pertahanan akhirnya menggiring pasukan ke wilayah Tameng. Namun karena pasukan yang menyerang saat itu terlalu banyak sampai seperti Ngepuh (istilah orang jawa), akhirnya Kebo Ijo pun berhasil ditangkap dan di adili di pusat kerajaan. Melihat kemalangan nasib sang Senopati Kebo Ijo, Ken Dedes pun meneteskan air mata (Mewek). Akhirnya Sungai tempat bertahan Kebo Ijo dari serangan pasukan Singosari tersebut saat ini dinamakan sebagai “Kali Mewek/Sungai Mewek” yang berujung sampai wilayah Cermai (Arjosari). Selain itu wilayah tempat peperangan terakhir Kebo Ijo sampai saat ini dikenal sebagai Desa Kepuharjo karena adanya istilah Ngepuh tersebut.
Nama Desa Ngijo berawal dari adanya pusat penyusunan strategi dan peristirahatan Kebo Ijo yang bernama Glagah Ijo. Sampai saat ini tempat tersebut berada di wilayah persawahan Dusun Ngijo Krajan Desa Ngijo. Dari istilah Glagah Ijo itulah maka wilayah tersebut sampai saat ini dikenal sebagai Desa Ngijo yang pada jaman dahulu terdiri dari beberapa Dusun yaitu Dusun Kagrengan, Dusun Kedawung, Dusun Ngijo Krajan, Dusun Ngepeh, Dusun Takeran, Dusun Kendalsari dan Dusun Leses. Adapun beberapa wilayah yang disebutkan pada cerita di atas juga berada di sekitar wilayah Desa Ngijo.
Selain itu tiga teman Kebo Ijo sampai saat ini dianggap oleh masyarakat Desa Ngijo sebagai Bedah Krawang (Babat Alas) Desa Ngijo yang antara lain : Singo Joyo yang berada di Dusun Ngijo Krajan, Singo Kerto yang berada di Dusun Takeran dan Singo Rekso yang berada di dusun Kagrengan. Adapun nama Desa Ngijo tersebut sempat diganti menjadi “Tlogosari Ngijo” pada era kepemimpinan Kepala Desa Bapak Moeradi. Hal tersebut dikarenakan ada yang menyatakan bahwa nama “Ngijo” dalam istilah lain dianggap sebagai “Ngijon” yang artinya rentenir (orang yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi). Atau “Ngijon” dalam arti lain yaitu menjual padi yang masih hijau karena terburu-buru ingin mendapatkan uang. Karena dalam istilah-istilah tersebut artinya kurang bagus, maka diusulkan mengganti namanya menjadi “Tlogosari”. Hal tersebut dikarenakan Desa Ngijo mempunyai Sumber Air (Tlogo) yang dapat mengairi sawah sampai sawah tersebut membuahkan hasil yang bagus (Sari). Sehingga apabila digabung kedua istilah tersebut menjadi Tlogosari. Usulan tersebut telah diajukan kepemerintah namun tidak sampi ke pemerintah pusat di Jakarta, selain itu dikhawatirkan akan terjadi masalah yang lebih rumit apabila nama Desa Ngijo diganti dengan nama Tlogosari. Dengan demikian sampai saat ini nama Desa Ngijo tetap dupergunakan sebagai identitas resmi Desa ini.